Futur. Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ruhiyyah seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang lebih sederhana, futur ialah "penurunan semangat beribadah."
Ketika seseorang yang biasa bersemangat menamatkan Al-Qur'an satu juz dalam satu hari, kemudian menurun atau tiba-tiba kehilangan semangat membaca Al-Qur'an, maka itulah futur.
Atau juga ketika seseorang yang jiwa sosialnya tinggi, perhatian dan peka terhadap kondisi saudara-saudaranya se-aqidah, suatu waktu ia merasa berat dan tidak mampu memperhatikan orang lain, kepekaannya menurun, egonya meningkat, dan bahkan berdiam diri ketika saudaranya sedang membutuhkan pertolongan. Atau fenomena lain dari futur adalah ketika orang yang senantiasa melakukan amar ma’ruf nahyi munkar, tapi –suatu waktu – kemudian semangat amalnya menurun dan bahkan mungkin –ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan – akhirnya ia sendiri melakukan penyimpangan-penyimpangan amal.
Memang, futur itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada futur yang masih tergolong rendah dan ada futur yang sifatnya kronis. Futur yang terbilang rendah, biasanya tergambar dalam penurunan kualitas dan kuantitas ibadahnya saja. Artinya ia masih berada di rel yang benar, ia masih mengikuti gerbong Al-Qur'an dan as-Sunah. Meskipun, kadang ia tertatih-tatih di rel itu, dan bahkan teringgal di belakang.
Futur yang seperti ini, pada permulaannya memang tidak terlalu berbahaya, karena hal itu merupakan tabiat manusia, bahkan itulah -mungkin- yang dimaksud dengan al-imanu yazidu wa yanqusu, Iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang. Fluktuatif keimanan merupakan hal yang wajar bagi setiap orang, karena tidak ada di dunia ini manusia yang selamanya benar, seperti halnya tidak ada yang selamanya salah.
Akan tetapi, ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan dalam rentang waktu yang cukup lama, maka tentu saja lambat laun ia akan merosot dan terus merosot. Kualitas keimanannya semakin lama akan semakin rendah dan lemah. Dan bahkan mungkin saja, ia akhirnya terperosok pada futur "skala tinggi." Bukan hanya penurunan kuantitas dan kualitas ibadahnya saja yang nampak pada dirinya, akan tetapi, lebih besar dari itu, ia tidak lagi berada pada rel ketaatan. Ke-futur-annya digambarkan dengan beralihnya taat menjadi maksiat, pahala dengan dosa. Na'udzubillah min dzalik.
Memang, manusia tidak ada yang bisa lepas dari kesalahan. Setiap orang pasti ada yang pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena ia bukanlah malaikat yang senantiasa patuh dan taat kepada Allah. Hal ini, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya; "Setiap Bani Adam itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat."
Akan tetapi, kalau kita cermati lagi hadits di atas, sebenarnya yang menjadi titik permasalahannya –dan itu yang sering tidak kita perhatikan– adalah ada atau tidaknya proses taubat yang dilakukan oleh orang yang telah berbuat kesalahan tersebut. Oleh karena itu, kesalahan –dalam batasan tertentu – bagi manusia merupakan sebuah kewajaran, akan tetapi terus menerus dan terlena dalam kesalahan tersebut merupakan ketidakwajaran.
Hal ini pun secara jelas telah disebutkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an, Ia berfirman; "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS 4:17)
Taubat inilah yang menjadi standarnya. Oleh karena itu ketika dalam kesalahannya ia tidak segera bertaubat (kembali pada Allah), maka kesalahannya itu bukanlah sebuah kewajaran lagi. Allah berfirman, "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS 4:18)
Kembali pada permasalahan futur, maka sebenarnya yang diperlukan oleh seorang muslim adalah komitmen dan keistiqamahan dalam setiap amal. Dan tentu saja semuanya harus dibarengi dengan bertahap dan tidak berlebihan (ghuluw). Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (H.R. Muslim).
Oleh karena itu, ketika ia mengalami ke-futur-an pun, maka futur-nya itu tidak keluar dari "rel yang benar", dan ia tidak melakukan sebuah penyimpangan amal. Dalam sebuah hadits pun disebutkan bahwa futur merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan batasan juhud (kesungguhan beramal) seseorang, ada yang tetap berada dalam bi'ah imaniyyah, ada juga yang keluar dari rel dan berbuat penyimpangan.
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami ke-futur-an (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futur-nya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futur-nya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka.” (HR Imam Ahmad)
Selain dari itu, perjuangan melawan futur harus dimulai dari hati. Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadits, “Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya”. Kebeningan hati dan ketulusan iman serta keikhlasan berdoa merupakan senjata ampuh untuk mengikis futur dan mengembalikannya kepada ghirah dan hamasah beramal yang tinggi.
Maka, di sinilah pentingnya kita senantiasa mengontrol kondisi ruhiyyah-nya, menimbangnya dengan timbangan-timbangan amal keseharian, sehingga ia bisa segera menyadari apa yang sedang terjadi pada ruhiyyah-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar